Apa itu AFTA (ASEAN Free Trade Area) 2015 ?
Sebelum masuk ke dalam ‘apa itu
AFTA’ atau dalam istilah Indonesia disebut sebagai Perdagangan Bebas ASEAN,
marilah kita merunut terlebih dahulu tentang bagaimana latar belakang
terbentuknya AFTA itu sendiri.
Pergeseran sistem ekonomi
internasional menimbulkan dampak besar bagi dinamika hubungan perdagangan antar
negara. Sistem ekonomi internasional bergeser ke arah pasar bebas. Akibatnya,
negara-negara dituntut untuk dapat mengintegrasikan ekonomi nasionalnya menuju
sistem perdagangan bebas. Untuk menghadapi hal ini, pada tahun 1992, ASEAN yang
saat itu beranggotakan Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura dan Thailand membuatAFTA agreement (dan disetujui dalam KTT
ASEAN 28 Januari 1992 di Singapura).
Pada saat itu, Kepala Negara
sepakat mengumumkan suatu kawasan perdagangan bebas di ASEAN dalam jangka waktu
15 tahun. Inti pokoknya adalah kerjasama antar Negara-Negara ASEAN dalam
membentuk kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN. Ini adalah AFTA secara sederhananya.
Tujuan dari AFTA adalah sebagai berikut :
1. Menjadikan
kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN
memiliki daya saing kuat di pasar global.
2. Menarik
lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI)
3. Meningkatkan
perdagangan antar negara anggota ASEAN (Intra-ASEAN Trade).
Dalam perkembangannya anggota
ASEAN lain masuk secara bertahap, seperti Vietnam (1995), Laos dan Myanmar
(1997) dan Kamboja (1999). Namun ada beberapa negara yang juga ikut dengan
menandatangani perjanjian bilateral, seperti China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia dan Selandia Baru.
Berdasarkan kesepakatan
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN terakhir di Phnom Penh. Pada bulan
Desember 2015, AFTA akan mulai diberlakukan. Hanya akan ada satu pasar dan
basis produksi dengan lima elemen utama, yaitu aliran bebas barang, bebas jasa,
bebas investasi, aliran modal dan aliran bebas tenaga kerja terampil.
Apa keuntungan yang didapat oleh Indonesia sendiri ?
Keuntungan AFTA yang dapat
diperoleh bagi Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Peluang
pemasaran barang ke ASEAN akan jauh lebih besar dan akan meningkatkan
pendapatan penduduk Indonesia.
2. Biaya
produksi akan lebih murah dan Indonesia akan mendapatkan keuntungan yang besar
karena rata-rata produknya adalah impor.
3. Pilihan
pembeli akan menjadi lebih variatif.
4. Kerjasama
dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis
di negara anggota ASEAN.
Banyak yang mengatakan bahwa AFTA tidak menguntungkan Indonesia ?
Di sini, saya mengambil ucapan
Dr. Ichsanuddin Noorsy bahwa AFTA tidak menguntungkan Indonesia. AFTA hanya
menguntungkan bagi negara-negara seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Hal
ini mengacu pada lima indikator :
1. Indikator
persaingan. Mengambil Global Competitive Report 2011 – 2012,
Indonesia berada di peringkat 44 – masih berada di bawa negara-negara ekonomi
utama ASEAN, seperti Thailand (38), Malaysia (26), dan Singapura (3).
2. Indikator
SDM. Mengambil Human Development Index 2011 yang dikeluarkan UNDP
menyebutkan, Indonesia berada di urutan 124 dari 187 negara yang dinilai
(setingkat Honduras, Kiribati dan Afrika Selatan).
3. Indikator
Performa. Mengambil Logistic Performance Index.
4. Indikator
Teknologi : Tinggi, Menengah dan Bawah.
5. Indikator
perbandingan rata-rata sistem politik, sistem pemerintahan dengan PDB dan
struktur di dalamnya.
Intinya dari lima indikator di
atas, Indonesia kalah dengan tiga negara : Singapura, Malaysia dan Thailand.
Selain itu, Pemerintah dianggap masih belum bisa memberikan perlindungan secara
merata sehingga belum siap menghadapi AFTA 2015.
Mari kita ambil contoh di aspek
infrastruktur yang berkaitan dengan bidang konstruksi. Dengan adanya AFTA 2015,
diharapkan adanya peningkatan pembangunan infrastruktur di Indonesia, terutama
di daerah tertinggal karena investasi akan datang lebih banyak (swasta). Akan
tetapi pembangunan infrastruktur membutuhkan tenaga ahli yang lebih banyak
pula. Dikhawatirkan, tenaga ahli yang dimiliki akan kalah bersaing dengan
tenaga ahli dari luar atau tenaga ahli dalam negeri akan dibeli oleh negara
luar. Kita akan jadi “kacung’ di negeri sendiri.
Agaknya itu ketakutan yang berlebihan..
Mungkin ada contoh lain yang
lebih nyata sekarang ini. Misal dalam investasi, besarnya beban biaya logistik
dan rumitnya birokrasi dianggap sebagai persoalan yang memberatkan investor.
Tahun 2012, Asia Business Outlook the Economist Coprporate Network mengatakan
bahwa Indonesia masih kurang luwes terhadap para investor. Besarnya beban biaya
logistik dan pelayanan birokrasi menjadi penyebab utamanya. Waktu proses ekspor
di Indonesia rata-rata adalah 17 hari, sementara ASEAN rata-rata 14 hari.
Indonesia mempunyai potensi
sebagai pasar export yang besar : bahan baku mudah didapat (besi, nikel, dan
alumunium), tanah masih relatif murah, mesin, sukucadang, bahan baku serta
teknologi mudah didapat. Namun birokrasi mempersulit perijinan : untuk ijin
bangun pabrik perlu minimal tiga bulan melalui lima intansi dengan tujuh
perijinan yang kadang berbelit dan biaya cukup mahal. Singapura hanya perlu
waktu 3-4 hari, melalui satu instansi dan biaya seperempat dari Indonesia,
begitupun dengan Malaysia, Vietnam, Thailand, Kamboja dan China.
Tanda lain yang mungkin terlihat
adalah banyak pengusaha jasa konstruksi di Bali yang beralih ke sektor jasa
lainnya. Hal ini tak lepas dari semakin banyaknya proyek-proyek besar di bidang
infrastruktur yang masuk ke Bali, sehingga mereka yang tidak mampu berkompetisi
akhirnya tersingkir. Seiring regulasi dan iklim investasi baru, dimana arus
investasi tidak terbendung sehingga tidak lagi bisa membatasi pengerjaan proyek
di Kabupaten dan Provinsi : Tidak ada pembatasan pangsa pasar untuk skala kecil
di Kabupaten, menengah di tingkat Provinsi dan besar di tingkat Pusat.
Pengusaha lokal jauh dari sisi kualitas dalam berkompetensi di pasar.
Ingat, AFTA 2015 bukan hanya
mencakup anggota-anggota ASEAN saja, melainkan negara-negara yang telah
menandatangani perjanjian bilateral seperti China, Jepang, Korea Selatan,
India, dan Selandia Baru. Bukan hanya tingkat ahli profesional dalam negeri
saja yang terancam, namun juga tenaga teknis di berbagai sektor seperti sopir
taksi, buruh bangunan, tukang cukur, serta petani lapangan.
AFTA adalah mimpi buruk bagi
industri manufaktur, eksportir dan bisnis lainnya, serta sektor tenaga kerja
yang belum siap. Akibatnya, bukan hanya tidak bisa memenetrasi pasar, tetapi
orang lain akan mengambil pasar domestik milik kita. Ketakutan itu perlu dan
manusiawi. Saya rasa ini tak berlebihan. Rencanakan yang terbaik, bersiap untuk
kondisi terburuk.
Lalu apa yang musti dilakukan untuk menghadapi AFTA ?
Secara personal, yang dapat
dilakukan adalah mengembangkan basis kompetensi yang anda dimiliki. Sebagai
pekerja di suatu perusahaan, anda harus mengembangkan Skill-Knowledge-Attitude
(SKA). Di samping itu perlu juga meningkatkan Speed-Stamina-Accuracy (SSA).
Jika anda seorang buruh pun, ini juga sangat penting. Vietnam mempunyai buruh
yang lebih murah dari Indonesia. Filipina mempunyai kelebihan dalam bidang
jasa. Peningkatan personal sangat penting untuk persaingan personal nantinya.
Jika anda pelaku industri
menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka ada tiga hal yang harus
dipersiapkan, seperti SDM, Kualitas Produk, serta Legalitas Izin dan Merek.
Selain itu, sebagai entrepreur, ada tigas aspek yang bisa digunakan untuk
menghadapi persaingan, yaitu :
1. Peluang
: mencermati kebutuhan pasar yang belum dipenuhi oleh produsen-produsen yang
sudah ada.
2. Diferensiasi
: membuat perbedaan dibanding pesaing yang sudah ada, agar lebih dipilih oleh
target pasar.
3. Fokus
: tidak semua peluang harus ditangkap, yang terpenting apakah bisa memenangi
persaingan tersebut. Kuncinya adalah fokus.
Selain itu, sebagai pengusaha,
anda harus meminimalisir trial and error. Anda juga harus mampu melihat
pangsa pasar dan pangsa pasar ke depan.
Dari kesemuanya itu, kata
kuncinya adaah Continous Improvement dan pembentukan mentalitas. Rasa
nasionalisme juga perlu.
Tampaknya untuk Tenaga Ahli , Indonesia harus serius menggarap
Pendidikan.
Benar.
Kalau kita mengambil dari Data
Badan Pusat Statistik (BPS) tentang indikator pendidikan menyebutkan, tahun
2011, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi tahun 2011 mencapai
17,28%. Indonesia meluluskan 800 ribu sarjana setiap tahun. Saat ini hanya 1
dari 4 anak Indonesia yang berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi. Hal ini
diperparah dengan kualitas kelembagaan Perguruan Tinggi itu sendiri, kualitas
lulusannya, kualitas risetnya, dan kesiapan dari sisi profesionalisme kerja.
Mutu pendidik juga penting. Tugas
Pendidik adalah mengawal kualitas pendidikan, agar mutu pendidikan bisa
terjaga. Pembelajaran diarahkan untuk mendorong peserta didik mencari tahu dari
berbagai sumber observasi, dan bukan diberitahu, pembelajaran yang diarahkan
untuk mampu merumuskan masalah, bukan hanya menjawab masalah, pembelajaran yang
diarahkan untuk melatih berpikir analitis dan bukan berpikir mekanistis, serta
pembelajaran yang menekankan pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam
menyelesaikan masalah.
Dari sekian banyak kelemahan
(lembaga pendidikan, budaya, sikap mental, entrepreneurship, kesanggupan
bersaing, soft skill dan lain sebagainya), yang menyedihkan adalah
belum adanya kebijakan yang terintegrasi dari hulu ke hilir penyiapan Sumber
Daya Manusia Indonesia. Rangkaian penyiapan Sumber Daya Manusia Indonesia
yang berkualitas harus terintegrasi, estafetnya harus tegas, dan kualitasnya
harus terus meningkat mulai dari hulu hingga hilir.
Bagaimana Pengembangan SDM dalam kerangka AFTA ?
“Penguatan SDM dalam kerangka
AFTA, yaitu dengan pemetaan mutu, analisis kebutuhan mutu serta perbaikan mutu
untuk menyusun standar pendidikan. Kemudian keterampilan seperti apa yang
diperlukan lulusan perguruan tinggi untuk menghadapi AFTA. Ada lima
keterampilan yang harus dipenuhi, yaitu : kemampuan berkomunikasi secara
verbal, kolaborasi, profesional di bidangnya, mampu menulis dengan baik, serta
kemampuan untuk memecahkan masalah.”, -Prof. Suyanto, Ph.D-
Jika dalam konteks kewirausahaan,
mengembangkan pola pikir (mindset) berwawasan AFTA kesocial business. Ada 4
AFTA mindset yang harus dikembangkan, yaitu pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial, produksi dengan penghapusan hambatan perdagangan, dan foreign
direct investment (FDI), di mana keempatnya akan mendukung social
business.
**
Dalam kesempatan Pelatihan
Pelaksana Konstruksi Jalan. Saya sempat berbincang dengan salahsatu Pejabat
Balai Pendidikan dan Pelatihan Kementerian PU (saya lupa namanya). Awalnya ngobrol
biasa saja, sampai pada saat saya menanyakan tentang substansi AFTA 2015.
Dengan mimik serius dia menjawab, “Indonesia kalah persiapan dibanding negara
lain. Ini fakta. Makanya kita berkerja keras untuk (pelatihan) ini. Kami tidak
mau kalian cuma jadi penonton.
http://sastrasipilindonesia.wordpress.com/2014/01/24/seputar-afta-asean-free-trade-area-tahun-2015/