Indonesia Menuju Desa Mandiri
Sumber: http://www.metrosiantar.com/2015/02/16/178771/wujudkan-desa-mandiri-energi/
PENDAHULUAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan oleh segenap masyarakat desa tak
terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013,
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan menjadi UU Desa. Kemudian
pada 15 januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani
guna mengesahkan UU tersebut.
2. HUKUM PERDATA
1. HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
1.1 SEJARAH
SINGKAT HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
Bermula di Eropa Konential berlaku Hukum Perdata Romawi, Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata bernama “Code Civil des Francais” atau “Code Napoleon”. Akhirnya pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad pertengahan) dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce” mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum.
Bermula di Eropa Konential berlaku Hukum Perdata Romawi, Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata bernama “Code Civil des Francais” atau “Code Napoleon”. Akhirnya pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad pertengahan) dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce” mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum.
Raja
Lodewijk Napoleon menetapkan : “Wetboek napoleon Ingeright Voor het
Koninkrijk Holland” yang mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code
Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland) pada
masa penjajahan oleh Belanda (1809-1811). Terbentuknya bw (Burgerlijk Wetboek)
dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun
sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code
de Commerce.
Pada
tahun 1948, kedua Undang-Undang produk nasional-Nederland berlaku di Indonesia
berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang
dikenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek) dan KUH
Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
Sejarah singkat
pembentukan UU No.6/2014 Tentang Desa bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan
Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu
dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis
sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.
1.2 PENGERTIAN
DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum
Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam
masyarakat. Dalam arti luas meliputi Hukum Privat materiil (lawan dari
Hukum Pidana). Hukum Privat materiil (Hukum Sipil) lebih umum dengan Hukum
Perdata untuk segenap Hukum Privat materiil (Hukum Perdana Menteri) ialah hukum
yang memuat segala peraturan yang mengatur (hak dan kewajiban) hubungan antar
perseorangan di masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan
secara timbal balik.
Sama seperti UU No.6/2014
didalamnya terdapat hukum yang mengatur antara perorangan didalam desa
tersebut.
1.3 SISTEMATIKA
HUKUM PERDATA
Sistematika
Hukum Perdata (BW) ada 2 pendapat. Pendapat yang pertama, dari pemberlaku
Undang-Undang berisi :
1. Buku I : Berisi
mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang
diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
2. Buku II : Berisi
tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
3. Buku III : Berisi tentang
hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara
orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4. Buku IV : Berisi tentang
pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan
akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.
Pendapat kedua menurut Ilmu Hukum/Doktrin dibagi dalam 4
bagian yaitu :
1. Hukum tentang diri seorang (pribadi) - Mengatur
tentang manusia sebagi subjek dalam hukum.
2. Hukum kekeluargaan - Mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbu dari hubungan kekeluargaan yaitu : Perkawinan
beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan.
3. Hukum kekayaan - Mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum yang dapat dinilai dengan uang.
4. Hukum warisan - Mengatur tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ia meninggal.
Dari penjelasan sistematika hukum
perdata diatas UU No.6/2014 sudah memenuhi buku I berisi hukum diri seseorang
dan hukum kekeluargaan. Didesa sudah ada badan hukumnya biasa disebut peraturan
desa.
2. SUBJEK DAN
OBJEK HUKUM
2.1 ORANG
SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Subjek
Hukum ialah segala sesuatu yang pada dasarnya
memiliki hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum. Yang termasuk dalam
pengertian Subjek Hukum ialah manusia atau orang (naturlijke person). Dan
badan hukum (vichtperson) misalnya PT, PN, Koperasi, dll.
Ada
beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau
kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka
adalah :
1.
Orang-orang yang
belum dewasa atau masih dibawah umur
Oleh
KUHP (BW) yang dimaksud ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan tidak
kawin.
2. Orang-orang yang
ditaruh dibawah pengawasan (Curatele)
yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau kuratornya.
Karena
badan-badan hukum dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan
tersendiri. Dan ikut sertanya badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui
pengurus tersebut, dapat digugat dan menggugat dimuka hakim melalui pengurus.
Bila ditelaah lebih
lanjut subjek hukum dalam UU tentang desa disini adalah penduduk desa itu
sendiri. Penduduk desa bisa mengeluarkan hak dan juga kewajibannya sebagai
penduduk desa.
2.2
OBYEK HUKUM
Objek
Hukum adalah segala sesuatu yang berada didalam pengaturan hukum dan dapat
dimanfaatkan oleh subjek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas
objek hukum yang bersangkutan.
Misalnya
segala macam benda, hak atas sesuatu dan sebagainya, yang cara peralihannya
berdasarkan hukum (umpamanya berdasarkan jual beli sewa menyewa, waris mewaris,
perjanjian dsb.
Dan bisa didalamin lagi
objek hukum UU No.6/2014 disini ialah hukum2 yang ada di desa itu sendiri yaitu
peraturan desa yang di buat oleh yang berwenang di desa.
3. Hukum
Kebendaan
1. Hak Eigendom atas Tanah Menurut B. W
Peraturan-
Peraturan Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang Hak Eigendom dan hak-hak
lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang
berbangsa Eropa, Tiong Hoa, Arab dan Timur asing lainnya. Akan tetapi Hak
Eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B. W dapat dimiliki oleh warga
negara asli Indonesia, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibahan,
warisan, dan lain-lain sebagainya. Menurut hukum Intergentiel sudah lazim
dianggap, bahwa bagi tanah eigendom dan lain-lain itu, di tangan siapapun juga,
berlakulah peraturan-peraturan yang bersangkutan dari Burgerlijk Wetboek. Maka,
bagi orang-orang asli Indonesia juga harus mengetahui peraturan B. W. Mengenai
hak eigendom dan hak-hak tanah lainnya.
Pasal
570 B. W menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak, yang mempunyai 2 unsur
seperti halnya hak milik atas Hukum Adat, yaitu:
· Hak untuk
memungut hasil atas kenikmatan sepenuhnya dari suatu barang
· Hak untuk
menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan,
menghibahkan, dan lain-lain sebagainya.
Dalam
sistem Burgerlijk Wetboek hak eigendom adalah hak atas suatu barang, yang pada
hakikatnya selalu bersifat sempurna, akan tetapi pada kenyataannya tidak selalu
demikian, melainkan ada kemungkinan seringkali dikurangi (uitgehold) dengan
adanya hak-hak lain dari orang lain atas barang itu. Misalnya, hak opstal, hak
memetik hasil, hak memakai. Juga sering dikatakan bahwa, hak eigendom adalah
hak atas barang kepunyaan sendiri.
·
Sifat Perbedaan
Hak
eigendom oleh Burgerlijk Wetboek diatur dalam buku 2 dan disitu bersama dengan
hak-hak lainnya merupakan segerombolan merupakan sekelompok hak-hak yang
bersifat perbedaan. Artinya hak perbedaan atas suatu benda itu merupakan
kekuasaan langsung dari seorang atas suatu benda.
Tentang
hak perbedaan ialah, hak seseorang atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa,
dalam mana suatu hubungan langsung hanya ada antar seorang penyewa dan seorang
yang menyewakan sedangkan hak sipenyewa untuk menguasai barang yang di sewa
berdasarkan hubungan perseorangan antara dua orang tersebut.
·
Sifat Mutlak
Hak
eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku 2 B. W adalah bersifat mutlak
dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang
mengganggu terlaksananya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik
eigendom dan si penyewa hanya dapat meminta tolong pada si pemilik eigendom,
supaya menegor si pengganggu itu.
·
Pembatasan Hak
Eigendom
Pembatasan
hak eigendom terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Berdasarkan atas hak-hak orang lain
Dalam
pembatasan ini, dapat ditetapkan oleh undang-undang juga misalnya titel 4 buku
2 B. W ( pasal 625-672 ), mengenai berbagai peraturan tentang hak-hak dan
kewajiban para pemilik pekarangan yang bersampingan atau berdekatan satu sama
lain atau bisa di sebut Hukum Tetangga.
b.
Berdasarkan atas
ketentuan-ketentuan belaka dari undang-undang (pasal 570 B.W)
Pasal
570 B.W disebutkan sebagai pembatasan hak eigendom yang berdasarkan atas
penentuan undang-undang belaka, sebetulnya juga berdasarkan atas kepentingan
orang lain. Hanya saja hal ini tidak disebutkan dalam pasal-pasal dari suatu
undang-undang yang bersangkutan. Pada akhirnya bagi hak eigendom ini berlaku
juga penentuan pasal 26 ayat 3 undang-undang dasar sementara, yang mengatakan
bahwa, hak milik adalah fungsi sosial.
Kalau pasal 570 B.W yang
memiliki 2 unsur hak milik atas hukum adat salah satunya bertuliskan hak untuk memungut hasil atas kenikmatan sepenuhnya dari
suatu barang, di
UU No.6/2014 para penduduk bisa mengambil hak dan wajib memenuhi kewajibannya
sebagai penduduk desa.
1.1. Cara Mendapatkan Hak eigendom atas Tanah
Menurut pasal
548 B.W cara-cara mendapatkan hak eigendom atas tanah, adalah:
a.
Pencakupan
dengan barang lain menjadi satu benda
Sebagai
peraturan umum, pasal 588 B.W mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dikumpulkan
dengan satu benda x, sehingga mewujudkan satu benda, adalah milik dari pemilik
benda x.
b.
Mewarisi
Kalau
pemilik eigendom itu orang Indonesia asli. Maka berlaku cara mewarisi menurut
Hukum Adat, seperti halnya hak milik atas tanah menurut hukum Adat di
daerah-daerah, dimana Hak Peraturan dari Persekutuan Desa itu tipis atau sama
sekali tidak ada lagi, sebagaimana di atas sudah pernah dikatakan.
c. Penyerahan
barang yang mengikuti perjanjian untuk memindahkan hak eigendom
Tentang hal ini ada tiga sistem :
· Sistem Perancis
yang hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli yang sudah
mengakibatkan si pembeli menjadi pemilik barang yang dibeli, dengan tidak prlu
adanya suatu penyerahan.
· Sistem Hukum
Adat, yang juga hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli.
Yang dinamakan persetujuan juual beli ini, adalah penyerahan barang oleh
penjual kepada pembeli dengan penerimaan oleh penjual dari pembeli sejumlah
uang pembelian. Dengan penyerahan ini tentunya hak milik atas barang itu
berpindah kepihak pembeli.
· Sistem
Burgerlijk Wetboek, yang mengenal dua persetujuan yang dipisah-pisahkan satu
dari yang lain, yaitu :
1. Persetujuan jual
beli, yang bersifat “oblgatior” (=mengikat) (lihat pasal 1457B.W.)
2.
Persetujuan
penyerahan barang yang dijual, yang bersifat “Zakelij” (=perbendaan) (lihat
pasal 584 B.W.) yang menyebutkan “levering” sebagai cara mendapatkan hak
eigendom. Persetujuan sub a berbunyi : Bahwa si penjual berjanji menyatakan
menyerahkan barang kepada si pembeli, sedang persetujuan sub b berbunyi : bahwa
si penjual menyatakan menyerahkan barang yang dijual itu kepada pembeli.
Eigendom atas barang, baru berpindah dar penjual ke pembeli, setelah
persetujuan peenyerahan terjadi. Dengan adanya persetujuan jual beli sub a
saja, dengan belum terjadinya persetujuan peyerahan barang sub b hak eogendom
atas barangnya belum berpindah ke tangan pembeli.
d. Lampau
waktu
Lampau waktu (verjaring) sebagai cara mendapatkan
eigendom atas tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek secara teliti. Maksud
peraturan lampau ini ialah untuk menghentikan keragu-raguan hukum tentang
siapakah yang selayaknya harus dianggap pemilik eigendom atas tanah, dalam hal
tiada adanya kepastian 100% tentang hak eigendom itu.
·
Hal melepaskan
hak atas lampau waktu
Diatas
sudah dikatakan, bahwa maksud peraturan memungkinkan lampau waktu, ialah untuk
keperluan kepastian hukum. Agar tidak selalu ada keragu-raguan perihal hak
eigendom atas suatu barang. Karena itu kepentingan umumlah yang juga dikatakan
menjadi dasar peraturan itu.
Berhubungan
dengan ini, pasal 1947 B.W. menentukan, bahwa seorang yang sedang dalam proses
mendapat hak eigendom secara lampau waktu. Kalau penentuan ini tidak ada, di
khawatirkan, bahwa dalam segala persetujuan-persetujuan selalu diadakan syarat,
bahwaw orang tidak akan mempergunakan hak atas lampau waktu, dan dengan
demikian akan lenyaplah harapan pembentuk UU B.W. untuk mengejar kepastian
hukum perihal eigendom.
·
Revindikasi
(pasal-pasal 574-583 B.W.)
Revindikasi
adalah semacam gugatan penting yang melekat pada hak eigendom,yang bertujuan
untuk meminta kembali suatu barang eigendom,gugatan ini diajukan oleh pemilik
eigendom sejati terhadap orang lain,baik yang dinamakan dirinya pemilik
sejati,maupun yang merasa berhak untuk menguasai barang itu berdasarkan atas
suatu hak perseorangan seperti hak sewa.
Dari
gugatan revindikasi ini, harus dibedakan gugatan yang diajukan oleh pemilik
eigendom dalam menguasai barang eigendom itu, seperti mendirikan rumah diatas
tanah itu, atau memotong pohon-pohon dari tanah itu. Gugatan ini diatur dalam
B.W. tetapi tentunya dapat diajukan dan tujuannya supaya gangguan tersebut
dihentikan.
Tidak ada bedanya dengan
UU No.6/2014 bahwa tidak boleh sembarangan mendirikan suatu desa, tertera dalam
pasal 1 desa harus mempunyai peraturan, kawasan pedesaan, pemerintahan desa.
Baru bisa membangun desa yang dilindungi pemerintahan setempat.
2 HAK-HAK LAIN ATAS TANAH MENURUT B.W.
Tentang
hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut Hukum Adat,
dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak atas sebidang tanah ada orang
lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem
Burgerlijk Wetboek selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah, sebal pasal
521 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada
“eigenar”nya, adalah kepunyaan Negara . karena itu kalau ada suatu
hak lain dari pada eigendom atas sebidang tanah, maka selalu ada orang
lain atau Negara yang mempunyai hak eigendom atas tanah itu.
Kalau
hak lain sangat kuat, artinya pada wujud dan pelaksanaanya tidak berbeda dengan
hak eigendom, sepertinhak erfpach atau hak vruchtgbruik, maka hak eigendom atas
tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi, kalau hak lain itu
terhenti.para ahli hukum belanda menamakan eigendom dalam keadaan terpendam ini
“blootew eigendom” (=eigendom belaka “ telanjang” tentang hak “bezit” dapat
dikatakan, bahwa perhubungannya dengan hak eigendom adalah sedikit berlainan ,
yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi “bezitter”. Sedang hak-hak lain selalu
berada ditangan naik orang lain selain “eigenaar”. Hal ini akan diuraikan
dibawah lebih lanjut.
·
HAK “bezit”
Soal
“bezit” adalah soal istimewa dari Burgerlijk Wetboek, yang tiada taranya dalam
Hukum Adat .keistimewaan peraturan bezit ini, terletak pada hal, bahwa Hukum
melindungi suatu keadaan sebidang tanah, yang belum tentu berdasarkan atas
suatu hak sejati.Perlindungan ini kalau perlu , juga diperlakukan
berhadap-hadapan dengan seorang yang nyata mempunyai hak sejati itu, yaitu si
pemilik eigendom sejati.
Pasal
239 B.W mengatakan, bahwa bezit adalah memegang atau memetik hasi dari suatu
barang yang dikuasai oleh seorang, baik oleh orang itu sendirimaupun dengan
perantara orang lain,seolah-oleh barang itu milik eigendomnya.
Menurut
pasal ini ada dua unsur dari bezit,yaitu:
1. Unsur keadaan menguasai suatu barang.
2. Unsur kemauan seorang pemegang barang
itu untuk menguasai barang itu sebagai milik eigendom.
·
Hak orang
tetangga (burenrech = hukum bagi orang-orang tetangga).
Peraturan
Burgerlijk Wetboek yang mengenai orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik
pekarangan (burenrecht,pasal-pasal 652-627 B.W. )adalah contoh dari perakitan
yang bersumber melalui pada undang-undang (verbintenis uit de wet allen” yang
disebutkan pasal 1352B.W.).
Hukum adalah
rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
suatu masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu bergaul
satu sama lain.
·
Hak Erfpcht
Hak
erfpacht dalam pasal 720 B.W digambarkan sebagai hak untuk menikmati hasil dari
sebidang tanah milik orang lain secara seluas-luasnya (volle genot hebben )
dengan kewajiban membayar setiap tahunnya sejumlah uang atau sejumlah hasil
bumi (jaarlijksche pacht)
Menurut
pasal 732 B.W. kalau waktu yang ditentukan semula dan kemudian lampau, maka hak
erfpacht dianggap terus berjalan secara diam-diam (stilzwijgend vernieuwd),
tetapi sewaktu-waktu dapat dihentikan oleh masing-masing pihak.
·
· Hak Opstal
Pasal
711 B.W. mengatakan, bahwa hak opstal adalah suatu hak perbendaan (zakelij
recht) untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman, diatas tanah
milik orang lain.
Menurut
Asser Scholten dalam bukunya Zakenrecht halaman 296 dan seterusnya pendapat
lain. Ia memegang teguh kata-kata pasal 711 B.W. , yang hanya menentukan adanya
kemungkinan sebidang tanah eigendom A dan bangunan atau tanaman diatasnya
eigendom B, sebagai kekecualian prinsip yang termuat dalam pasal 600 dan 601
B.W. bahwa eigendom atas tanah meliputi juga eigendom atas segala bangunan dan
tanaman yang berada diatasnya.
·
Hak
Vruchtgebruik ( Hak memungut hasil )
Menurut pasal
756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu hak perbendan (zakelijk recht)
untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak eigendom atas
barang itu, asal jangan sampai barang itu musnah.
Dari
berbagai pasal dari B.W., hak vruchtgebruik juga dapat diadakan atas
barang-barang yang tersebut belakangan ini, seperti:
1.
Pasal 784 B.W.
yang menyebutkan hak vruchtgebruik atas barang-barang yang setelah dipakai,
lambat laun berkurang wujudnya atau harga nilainya.
2.
Pasal 806 B.W.
yang menyebutkan hak vruchtgebruik atas suatu kapal (schip)
Oleh karena
pengertian vruchtgebruik meliputi dua unsur tersebut yaitu memungut hasil
barang dan atau memakai barang.
·
· Hak memakai dan mendiami (gebruik en bewoning)
Disebutkan
dua hal, yaitu memakai dan mendiami , tetapi sebetulnya yang dimaksudkan ialah
hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai ini dinamakan hak mendiami.
Untukmudahnya hanya disebut hak memakai saja.
Sebagai
kewajiban – kewajiban si pemakai disebutkan oleh pasal 819 B.W. seperti
berikut:
·
Mengadakan
jaminan akan memakai barang itu secara sebaik-baiknya,
·
Membuat catatan
adanya barang-barang yang dipakai,
·
Memelihara
barangnya “als een goed huisvader” (=seperti seorang Kepala Rumah Tangga yang
baik)
·
Mengembalikkan
barangnya itu pada waktu berakhirnya hak memakai.
Disamping ini
pasal 828 B.W. menyebutkan kewajiban si pemakai untuk memikul biaya guna
memperbaiki yang rusak biaya untuk menggarap tanahnya guna memetik
hasil daripadanya, dan juga memikul pajak-pajak atas tanah dan rumah itu.
·
Bunga
Tanah
Menurut
pasal 737 B.W, Bunga Tanah ini adalah suatu kewajiban seorang pemilik tanah
untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang dan sejumlah hasil
bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu, akan pembayaran bunga
ini, menurut pasal 739 B. W melekat pada tanah. Artinya, tetap berada, meskipun
tanahnya dijual kepada orang ketiga. Jadi, si pembeli tanah juga berkewajiban
untuk melakukan pembayaran bunga itu. Jadi, kesimpulannya bahwa hak seorang
yang menerima pembayaran bunga ini adalah bersifat perbendaan.
Hak
atas kawasan desa bisa saja dihilangkan yg tertera pada UU No.6/2014 tentang
desa Pasal
9 : Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program
nasional yang strategis. Maka dari itu tanah yang ditempati tidak sepenuhnya
milik desa.
4. HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN
1. PERIHAL
PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA
Perkataan
“ Perikatan” ( Verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
“perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu
perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan
kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak warneming). Adapun
yang dimaksud dengan “perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai
kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk
menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan
dinamakan pihak “debitur”.
Dalam
UU No.6/2014 didalamnya ada pengaturan desa yang berikatan dengan hukum dan berisi
Pengaturan Desa bertujuan:
Pasal 4 :
a.
memberikan
pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya
sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
memberikan
kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.
melestarikan dan
memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d.
mendorong
prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi
dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e.
membentuk
Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta
bertanggung jawab;
2. MACAM-MACAM
PERIKATAN
Bentuk
perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak
hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih
pembayarannya. di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa
macam perikatan lain sebagai berikut :
A. PERIKATAN
BERSYARAT (VOORWAARDELIJIK)
Perikatan
bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama
mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila
kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu,
menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau
mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya berjanji
pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat
dikatakan bahwa jual beli itu hanya akan terjadi, kalau saya lulus dari ujian.
Kedua, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan
berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini
dikatakan, perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan (ontbindende
voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian: saya mengijinkan seorang
mendiami rumah saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir
apabila secara mendadak, saya diperhentikan dari pekerjaan saya.
Selanjutnya
diterangkan, bahwa dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal
balik, kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu
syarat pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266).
B. PERIKATAN
YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING).
Perbedaan
antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa
suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana,
sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin
belum dapat ditentukan kapan datangnya
C.
PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF)
Ini
adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,
ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu
juta rupiah .
D. PERIKATAN
TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDELIJK ATAU SOLIDAIR)
Suatu
perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa
orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan
semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.
E.
PERIKATAN YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI
Suatu
perikatan dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah
pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atua tidaknya
dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam
perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi
karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala
hak-haknya oleh sekalian ahli waris.
F. PERIKATAN
DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING)
Untuk
mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalikan kewajibannya,
dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu
hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya
ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran
kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang
membuat perjanjian itu.
Jika
dilihat dari UU No.6/2014 Didesa pasti ada orang yang menjabat sebagai kepala
desa, dan kepala desa ini sudah pasti terikat janji yang sudah terikat dengan
hukum jadi tidak bisa sembarangan membuat perjanjian tersebut.
4. PEMBATALAN
SUATU PERJANJIAN
Dalam
syarat-syat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bawa, apabila suatu
syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum
(null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak
ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang
bermaksud membuat perjanjian itu.
Apabila,
pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif,
maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum,
tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak
ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orang tua
atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak
yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Persetujuan
kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas,
yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Seperti
yang sub bab sebelumnya jika sudah membuat janji yang terikat hukum maka jika
dibatalkan bisa membuat pihak yang berjanji akan mendapat hukuman.
5. SAAT DAN
LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut
azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat
atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa
yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan
kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu
adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan
tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Dengan
demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan
bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai
sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sekapat itu.
Saat
lahirnya perjanjian menurut UU No.6/2014 tertera pasal 31 kepala desa akan
dipilih dan akan mengucapkan janji jika terpilih.
Pasal
31:
1)
Pemilihan Kepala
Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota.
2)
Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa
secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
3)
Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.Kepala desa
6. PELAKSANAAN
SUATU PERJANJIAN
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu,
perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3.
Perjanjian untuk
tidak berbuat sesuatu
Pelaksanaan
Perjanjian yang terdapat pada UU No.6/2014 adalah kepala desa harus mengikuti
perjanjian misalnya yang telah ditetapkan sejak awal yaitu melaksanakan
tugasnya dengan sungguh-sungguh dan membangun desa yang baik.
Kesimpulan
UU No.6/2014 tentang desa
memang banyak membatu desa untuk membangun pembangunan desa tersebut dari
peraturan desa, penataaan, pengaturan dan juga UU No.6/2014 saling berkaitan
dengan pembahasan materi yang telah disampaikan.
Sumber:
http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-6-tahun-2014-4723
[Diakses, 15 April 2015]
Katuuk
Neltje F. 1994. Diktat Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisinis, Universitas Gunadarma