Jumat, 24 Juni 2016

Indonesia Menuju Desa Mandiri

Sumber: http://www.metrosiantar.com/2015/02/16/178771/wujudkan-desa-mandiri-energi/

PENDAHULUAN

            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan Undang-Undang yang telah dinantikan oleh segenap masyarakat desa tak terkecuali perangkat desa selama 7 tahun. Tepatnya, Rabu 18 desember 2013, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Desa disahkan menjadi UU Desa. Kemudian pada 15 januari 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani guna mengesahkan UU tersebut.

2. HUKUM PERDATA

1. HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA

1.1 SEJARAH SINGKAT HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA

            Bermula di Eropa Konential berlaku Hukum Perdata Romawi, Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata bernama “Code Civil des Francais” atau “Code Napoleon”. Akhirnya pada jaman Aufklarung (Jaman baru sekitar abad pertengahan) dimuat pada kitab Undang-Undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce” mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi antara lain masalah wessel, asuransi, badan-badan hukum.

Raja Lodewijk Napoleon menetapkan : “Wetboek napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland) pada masa penjajahan oleh Belanda (1809-1811). Terbentuknya bw (Burgerlijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.

Pada tahun 1948, kedua Undang-Undang produk nasional-Nederland berlaku di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum). Sampai sekarang dikenal dengan nama KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek) dan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).

Sejarah singkat pembentukan UU No.6/2014 Tentang Desa bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan  sejahtera.

1.2 PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat. Dalam arti luas meliputi Hukum Privat materiil (lawan dari Hukum Pidana). Hukum Privat materiil (Hukum Sipil) lebih umum dengan Hukum Perdata untuk segenap Hukum Privat materiil (Hukum Perdana Menteri) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur (hak dan kewajiban) hubungan antar perseorangan di masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan secara timbal balik.

Sama seperti UU No.6/2014 didalamnya terdapat hukum yang mengatur antara perorangan didalam desa tersebut.

1.3 SISTEMATIKA HUKUM PERDATA

Sistematika Hukum Perdata (BW) ada 2 pendapat. Pendapat yang pertama, dari pemberlaku Undang-Undang berisi :

1.   Buku I      : Berisi mengenai orang. Didalamnya diatur hukum tentang diri      seseorang dan hukum kekeluargaan.
2.    Buku II       : Berisi tentang hal benda. Dan didalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
3.  Buku III     : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4.    Buku IV     : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Didalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluwarsa itu.

Pendapat kedua menurut Ilmu Hukum/Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu : 

1.   Hukum tentang diri seorang (pribadi) - Mengatur tentang manusia sebagi subjek dalam hukum.
2.    Hukum kekeluargaan - Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbu dari hubungan kekeluargaan yaitu : Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan. 
3.  Hukum kekayaan - Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
4.    Hukum warisan - Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.

Dari penjelasan sistematika hukum perdata diatas UU No.6/2014 sudah memenuhi buku I berisi hukum diri seseorang dan hukum kekeluargaan. Didesa sudah ada badan hukumnya biasa disebut peraturan desa.

2. SUBJEK DAN OBJEK HUKUM

2.1 ORANG SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Subjek Hukum ialah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lau lintas hukum. Yang termasuk dalam pengertian Subjek Hukum  ialah manusia atau orang (naturlijke person). Dan badan hukum (vichtperson) misalnya PT, PN, Koperasi, dll.

Ada beberapa golongan yang oleh Undang-Undang telah dinyatakan tidak cakap atau kurang cukup untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum itu. Mereka adalah :

1.           Orang-orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur

Oleh KUHP (BW) yang dimaksud ialah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan tidak kawin.

2.         Orang-orang yang ditaruh dibawah pengawasan (Curatele) yang selalu harus diwakili oleh orang tuanya, walinya, atau kuratornya.

Karena badan-badan hukum dan perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan tersendiri. Dan ikut sertanya badan hukum dan perkumpulan itu yaitu melalui pengurus tersebut, dapat digugat dan menggugat dimuka hakim melalui pengurus.

Bila ditelaah lebih lanjut subjek hukum dalam UU tentang desa disini adalah penduduk desa itu sendiri. Penduduk desa bisa mengeluarkan hak dan juga kewajibannya sebagai penduduk desa.

2.2 OBYEK HUKUM

Objek Hukum adalah segala sesuatu yang berada didalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subjek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas objek hukum yang bersangkutan.

Misalnya segala macam benda, hak atas sesuatu dan sebagainya, yang cara peralihannya berdasarkan hukum (umpamanya berdasarkan jual beli sewa menyewa, waris mewaris, perjanjian dsb.

Dan bisa didalamin lagi objek hukum UU No.6/2014 disini ialah hukum2 yang ada di desa itu sendiri yaitu peraturan desa yang di buat oleh yang berwenang di desa.

3. Hukum Kebendaan

1.   Hak Eigendom atas Tanah Menurut B. W

Peraturan- Peraturan Burgerlijk Wetboek yang mengatur tentang Hak Eigendom dan hak-hak lain atas tanah pada umumnya hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang berbangsa Eropa, Tiong Hoa, Arab dan Timur asing lainnya. Akan tetapi Hak Eigendom dan hak-hak lain atas tanah menurut B. W dapat dimiliki oleh warga negara asli Indonesia, yaitu cara jual beli, tukar menukar, penghibahan, warisan, dan lain-lain sebagainya. Menurut hukum Intergentiel sudah lazim dianggap, bahwa bagi tanah eigendom dan lain-lain itu, di tangan siapapun juga, berlakulah peraturan-peraturan yang bersangkutan dari Burgerlijk Wetboek. Maka, bagi orang-orang asli Indonesia juga harus mengetahui peraturan B. W. Mengenai hak eigendom dan hak-hak tanah lainnya.

Pasal 570 B. W menggambarkan hak eigendom sebagai suatu hak, yang mempunyai 2 unsur seperti halnya hak milik atas Hukum Adat, yaitu:

·       Hak untuk memungut hasil atas kenikmatan sepenuhnya dari suatu barang 
·    Hak untuk menguasai barang itu secara seluas-luasnya, seperti menjual, menukarkan, menghibahkan, dan lain-lain sebagainya. 

Dalam sistem Burgerlijk Wetboek hak eigendom adalah hak atas suatu barang, yang pada hakikatnya selalu bersifat sempurna, akan tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian, melainkan ada kemungkinan seringkali dikurangi (uitgehold) dengan adanya hak-hak lain dari orang lain atas barang itu. Misalnya, hak opstal, hak memetik hasil, hak memakai. Juga sering dikatakan bahwa, hak eigendom adalah hak atas barang kepunyaan sendiri.

·        Sifat Perbedaan

Hak eigendom oleh Burgerlijk Wetboek diatur dalam buku 2 dan disitu bersama dengan hak-hak lainnya merupakan segerombolan merupakan sekelompok hak-hak yang bersifat perbedaan. Artinya hak perbedaan atas suatu benda itu merupakan kekuasaan langsung dari seorang atas suatu benda.

Tentang hak perbedaan ialah, hak seseorang atas suatu benda, seperti misalnya hak sewa, dalam mana suatu hubungan langsung hanya ada antar seorang penyewa dan seorang yang menyewakan sedangkan hak sipenyewa untuk menguasai barang yang di sewa berdasarkan hubungan perseorangan antara dua orang tersebut. 

·     Sifat Mutlak

Hak eigendom dan hak-hak lain yang diatur dalam buku 2 B. W adalah bersifat mutlak dalam arti bahwa hak-hak ini dapat diperlakukan terhadap siapapun juga yang mengganggu terlaksananya hak-hak itu. Sedangkan dalam hal tegor oleh sipemilik eigendom dan si penyewa hanya dapat meminta tolong pada si pemilik eigendom, supaya menegor si pengganggu itu.

·        Pembatasan Hak Eigendom

Pembatasan hak eigendom terbagi menjadi 2 macam, yaitu:

a.     Berdasarkan atas hak-hak orang lain

Dalam pembatasan ini, dapat ditetapkan oleh undang-undang juga misalnya titel 4 buku 2 B. W ( pasal 625-672 ), mengenai berbagai peraturan tentang hak-hak dan kewajiban para pemilik pekarangan yang bersampingan atau berdekatan satu sama lain atau bisa di sebut Hukum Tetangga.

b.     Berdasarkan atas ketentuan-ketentuan belaka dari undang-undang (pasal 570 B.W)

Pasal 570 B.W disebutkan sebagai pembatasan hak eigendom yang berdasarkan atas penentuan undang-undang belaka, sebetulnya juga berdasarkan atas kepentingan orang lain. Hanya saja hal ini tidak disebutkan dalam pasal-pasal dari suatu undang-undang yang bersangkutan. Pada akhirnya bagi hak eigendom ini berlaku juga penentuan pasal 26 ayat 3 undang-undang dasar sementara, yang mengatakan bahwa, hak milik adalah fungsi sosial.

Kalau pasal 570 B.W yang memiliki 2 unsur hak milik atas hukum adat salah satunya bertuliskan hak untuk memungut hasil atas kenikmatan sepenuhnya dari suatu barang, di UU No.6/2014 para penduduk bisa mengambil hak dan wajib memenuhi kewajibannya sebagai penduduk desa.

1.1. Cara Mendapatkan Hak eigendom atas Tanah

Menurut pasal 548 B.W cara-cara mendapatkan hak eigendom atas tanah, adalah:

a.     Pencakupan dengan barang lain menjadi satu benda

Sebagai peraturan umum, pasal 588 B.W mengatakan, bahwa segala sesuatu yang dikumpulkan dengan satu benda x, sehingga mewujudkan satu benda, adalah milik dari pemilik benda x.

b.     Mewarisi

Kalau pemilik eigendom itu orang Indonesia asli. Maka berlaku cara mewarisi menurut Hukum Adat, seperti halnya hak milik atas tanah menurut hukum Adat di daerah-daerah, dimana Hak Peraturan dari Persekutuan Desa itu tipis atau sama sekali tidak ada lagi, sebagaimana di atas sudah pernah dikatakan.

c. Penyerahan barang yang mengikuti perjanjian untuk memindahkan hak eigendom

            Tentang hal ini ada tiga sistem :

·      Sistem Perancis yang hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli yang sudah mengakibatkan si pembeli menjadi pemilik barang yang dibeli, dengan tidak prlu adanya suatu penyerahan.
·   Sistem Hukum Adat, yang juga hanya mengenal satu persetujuan, yaitu persetujuan jual beli. Yang dinamakan persetujuan juual beli ini, adalah penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan penerimaan oleh penjual dari pembeli sejumlah uang pembelian. Dengan penyerahan ini tentunya hak milik atas barang itu berpindah kepihak pembeli.
·      Sistem Burgerlijk Wetboek, yang mengenal dua persetujuan yang dipisah-pisahkan satu dari yang lain, yaitu : 

1.          Persetujuan jual beli, yang bersifat “oblgatior” (=mengikat) (lihat pasal 1457B.W.) 
2.                 Persetujuan penyerahan barang yang dijual, yang bersifat “Zakelij” (=perbendaan) (lihat pasal 584 B.W.) yang menyebutkan “levering” sebagai cara mendapatkan hak eigendom. Persetujuan sub a berbunyi : Bahwa si penjual berjanji menyatakan menyerahkan barang kepada si pembeli, sedang persetujuan sub b berbunyi : bahwa si penjual menyatakan menyerahkan barang yang dijual itu kepada pembeli. Eigendom atas barang, baru berpindah dar penjual ke pembeli, setelah persetujuan peenyerahan terjadi. Dengan adanya persetujuan jual beli sub a saja, dengan belum terjadinya persetujuan peyerahan barang sub b hak eogendom atas barangnya belum berpindah ke tangan pembeli.

d.     Lampau waktu

            Lampau waktu (verjaring) sebagai cara mendapatkan eigendom atas tanah diatur dalam Burgerlijk Wetboek secara teliti. Maksud peraturan lampau ini ialah untuk menghentikan keragu-raguan hukum tentang siapakah yang selayaknya harus dianggap pemilik eigendom atas tanah, dalam hal tiada adanya kepastian 100% tentang hak eigendom itu.

·        Hal melepaskan hak atas lampau waktu

Diatas sudah dikatakan, bahwa maksud peraturan memungkinkan lampau waktu, ialah untuk keperluan kepastian hukum. Agar tidak selalu ada keragu-raguan perihal hak eigendom atas suatu barang. Karena itu kepentingan umumlah yang juga dikatakan menjadi dasar peraturan itu.

Berhubungan dengan ini, pasal 1947 B.W. menentukan, bahwa seorang yang sedang dalam proses mendapat hak eigendom secara lampau waktu. Kalau penentuan ini tidak ada, di khawatirkan, bahwa dalam segala persetujuan-persetujuan selalu diadakan syarat, bahwaw orang tidak akan mempergunakan hak atas lampau waktu, dan dengan demikian akan lenyaplah harapan pembentuk UU B.W. untuk mengejar kepastian hukum perihal eigendom.

·        Revindikasi (pasal-pasal 574-583 B.W.)

Revindikasi adalah semacam gugatan penting yang melekat pada hak eigendom,yang bertujuan untuk meminta kembali suatu barang eigendom,gugatan ini diajukan oleh pemilik eigendom sejati terhadap orang lain,baik yang dinamakan dirinya pemilik sejati,maupun yang merasa berhak untuk menguasai barang itu berdasarkan atas suatu hak perseorangan seperti hak sewa.

Dari gugatan revindikasi ini, harus dibedakan gugatan yang diajukan oleh pemilik eigendom dalam menguasai barang eigendom itu, seperti mendirikan rumah diatas tanah itu, atau memotong pohon-pohon dari tanah itu. Gugatan ini diatur dalam B.W. tetapi tentunya dapat diajukan dan tujuannya supaya gangguan tersebut dihentikan.

Tidak ada bedanya dengan UU No.6/2014 bahwa tidak boleh sembarangan mendirikan suatu desa, tertera dalam pasal 1 desa harus mempunyai peraturan, kawasan pedesaan, pemerintahan desa. Baru bisa membangun desa yang dilindungi pemerintahan setempat.

   HAK-HAK LAIN ATAS TANAH MENURUT B.W.

Tentang hubungan hak-hak lain dengan hak milik atas tanah menurut  Hukum Adat, dikatakan bahwa, biasanya disamping hak-hak  atas sebidang tanah ada orang lain atau persekutuan yang mempunyai hak milik atas tanah juga dalam sistem Burgerlijk Wetboek selalu ada pemilik eigendom atas sebidang tanah, sebal pasal 521 B.W. menentukan, bahwa tanah-tanah yang tidak dipelihara dan tidak ada “eigenar”nya, adalah kepunyaan Negara . karena itu  kalau ada suatu hak  lain dari pada eigendom atas sebidang tanah, maka selalu ada orang lain atau Negara yang mempunyai hak eigendom atas tanah itu.

Kalau hak lain sangat kuat, artinya pada wujud dan pelaksanaanya tidak berbeda dengan hak eigendom, sepertinhak erfpach atau hak vruchtgbruik, maka hak eigendom atas tanah itu sangat terpendam, dan baru muncul lagi, kalau hak lain itu terhenti.para ahli hukum belanda menamakan eigendom dalam keadaan terpendam ini “blootew eigendom” (=eigendom belaka “ telanjang” tentang hak “bezit” dapat dikatakan, bahwa perhubungannya dengan hak eigendom adalah sedikit berlainan , yaitu “eigenaar” dapat sekaligus menjadi “bezitter”. Sedang hak-hak lain selalu berada ditangan naik orang lain selain “eigenaar”. Hal ini akan diuraikan dibawah lebih lanjut.

·         HAK “bezit”

Soal “bezit” adalah soal istimewa dari Burgerlijk Wetboek, yang tiada taranya dalam Hukum Adat .keistimewaan peraturan bezit ini, terletak pada hal, bahwa Hukum melindungi suatu keadaan sebidang tanah, yang belum tentu berdasarkan atas suatu hak sejati.Perlindungan ini kalau perlu , juga diperlakukan berhadap-hadapan dengan seorang yang nyata mempunyai hak sejati itu, yaitu si pemilik eigendom sejati.

Pasal 239 B.W mengatakan, bahwa bezit adalah memegang atau memetik hasi dari suatu barang yang dikuasai oleh seorang, baik oleh orang itu sendirimaupun dengan perantara orang lain,seolah-oleh barang itu milik eigendomnya.

Menurut pasal ini ada dua unsur dari bezit,yaitu: 

1.     Unsur keadaan menguasai suatu barang.
2.     Unsur kemauan seorang pemegang barang itu untuk menguasai barang itu sebagai milik eigendom.

·                     Hak orang tetangga (burenrech = hukum bagi orang-orang tetangga).

Peraturan Burgerlijk Wetboek yang mengenai orang-orang tetangga diantara pemilik-pemilik pekarangan (burenrecht,pasal-pasal 652-627 B.W. )adalah contoh dari perakitan yang bersumber melalui pada undang-undang (verbintenis uit de wet allen” yang disebutkan pasal 1352B.W.).

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat. Orang-orang ini dalam hidupnya sehari-hari selalu bergaul satu sama lain.

·                     Hak Erfpcht

Hak erfpacht dalam pasal 720 B.W digambarkan sebagai hak untuk menikmati hasil dari sebidang tanah milik orang lain secara seluas-luasnya (volle genot hebben ) dengan kewajiban membayar setiap tahunnya sejumlah uang atau sejumlah hasil bumi (jaarlijksche pacht)

Menurut pasal 732 B.W. kalau waktu yang ditentukan semula dan kemudian lampau, maka hak erfpacht dianggap terus berjalan secara diam-diam (stilzwijgend vernieuwd), tetapi sewaktu-waktu dapat dihentikan oleh masing-masing pihak.

·                     ·      Hak Opstal

Pasal 711 B.W. mengatakan, bahwa hak opstal adalah suatu hak perbendaan (zakelij recht) untuk mempunyai rumah-rumah, bangunan dan tanaman-tanaman, diatas tanah milik orang lain.

Menurut Asser Scholten dalam bukunya Zakenrecht halaman 296 dan seterusnya pendapat lain. Ia memegang teguh kata-kata pasal 711 B.W. , yang hanya menentukan adanya kemungkinan sebidang tanah eigendom A dan bangunan atau tanaman diatasnya eigendom B, sebagai kekecualian prinsip yang termuat dalam pasal 600 dan 601 B.W. bahwa eigendom atas tanah meliputi juga eigendom atas segala bangunan dan tanaman yang berada diatasnya.

·                     Hak Vruchtgebruik ( Hak memungut hasil )

Menurut pasal 756 B.W. hak memungut hasil ini adalah suatu hak perbendan (zakelijk recht) untuk memungut hasil dari suatu benda, seolah-olah mempunyai hak eigendom atas barang itu, asal jangan sampai barang itu musnah.
          
Dari berbagai pasal dari B.W., hak vruchtgebruik juga dapat diadakan atas barang-barang yang tersebut belakangan ini, seperti:
1.     Pasal 784 B.W. yang menyebutkan hak vruchtgebruik atas barang-barang yang setelah dipakai, lambat laun berkurang wujudnya atau harga nilainya. 
2.     Pasal 806 B.W. yang menyebutkan hak vruchtgebruik atas suatu kapal (schip)
Oleh karena pengertian vruchtgebruik meliputi dua unsur tersebut yaitu memungut hasil barang dan atau memakai barang.

·                     ·       Hak memakai dan mendiami (gebruik en bewoning)

Disebutkan dua hal, yaitu memakai dan mendiami , tetapi sebetulnya yang dimaksudkan ialah hak memakai saja. Kalau hak ini mengenai ini dinamakan hak mendiami. Untukmudahnya hanya disebut hak memakai saja.
           
Sebagai kewajiban – kewajiban si pemakai disebutkan oleh pasal 819 B.W. seperti berikut: 
·        Mengadakan jaminan akan memakai barang itu secara sebaik-baiknya,
·        Membuat catatan adanya barang-barang yang dipakai, 
·        Memelihara barangnya “als een goed huisvader” (=seperti seorang Kepala Rumah Tangga yang baik) 
·        Mengembalikkan barangnya itu pada waktu berakhirnya hak memakai.

Disamping ini pasal 828 B.W. menyebutkan kewajiban si pemakai untuk memikul biaya guna memperbaiki yang rusak biaya untuk menggarap tanahnya guna memetik hasil daripadanya, dan juga memikul pajak-pajak atas tanah dan rumah itu.

·        Bunga Tanah 

Menurut pasal 737 B.W, Bunga Tanah ini adalah suatu kewajiban seorang pemilik tanah untuk membayar setiap jangka waktu tertentu sejumlah uang dan sejumlah hasil bumi, selaku bunga kepada orang lain. Hak orang lain itu, akan pembayaran bunga ini, menurut pasal 739 B. W melekat pada tanah. Artinya, tetap berada, meskipun tanahnya dijual kepada orang ketiga. Jadi, si pembeli tanah juga berkewajiban untuk melakukan pembayaran bunga itu. Jadi, kesimpulannya bahwa hak seorang yang menerima pembayaran bunga ini adalah bersifat perbendaan. 

Hak atas kawasan desa bisa saja dihilangkan yg tertera pada UU No.6/2014 tentang desa Pasal 9 : Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis. Maka dari itu tanah yang ditempati tidak sepenuhnya milik desa.
 
4. HUKUM PERIKATAN DAN PERJANJIAN

1.     PERIHAL PERIKATAN DAN SUMBER-SUMBERNYA

Perkataan “ Perikatan” ( Verbintenis ) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak warneming). Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” ialah : suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan dinamakan pihak “debitur”.

Dalam UU No.6/2014 didalamnya ada pengaturan desa yang berikatan dengan hukum dan berisi Pengaturan Desa bertujuan:
Pasal 4 :

a.           memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.           memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c.            melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa;
d.           mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama;
e.           membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;  

2.     MACAM-MACAM PERIKATAN

Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa macam perikatan lain sebagai berikut :

A.    PERIKATAN BERSYARAT (VOORWAARDELIJIK)

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya akan terjadi, kalau saya lulus dari ujian. Kedua, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini dikatakan, perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan (ontbindende voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian: saya mengijinkan seorang mendiami rumah saya, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak, saya diperhentikan dari pekerjaan saya.

Selanjutnya diterangkan, bahwa dalam tiap perjanjian yang meletakkan kewajiban timbal balik, kelalaian salah satu pihak (wanprestasi) selalu dianggap sebagai suatu syarat pembatalan yang dicantumkan dalam perjanjian (pasal 1266).

B. PERIKATAN YANG DIGANTUNGKAN PADA SUATU KETETAPAN WAKTU (TIJDSBEPALING).

Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya

C.     PERIKATAN YANG MEMBOLEHKAN MEMILIH (ALTERNATIEF)

Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu juta rupiah .

D.    PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDELIJK ATAU SOLIDAIR) 

Suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

E.    PERIKATAN YANG DAPAT DIBAGI DAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI 

Suatu perikatan dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atua tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil kemuka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli waris.

F.     PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING) 

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalikan kewajibannya, dalam praktek banyak dipakai perjanjian dimana si berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. 

Jika dilihat dari UU No.6/2014 Didesa pasti ada orang yang menjabat sebagai kepala desa, dan kepala desa ini sudah pasti terikat janji yang sudah terikat dengan hukum jadi tidak bisa sembarangan membuat perjanjian tersebut.

4. PEMBATALAN SUATU PERJANJIAN

Dalam syarat-syat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bawa, apabila suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.

Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subjektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.

Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas, yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Seperti yang sub bab sebelumnya jika sudah membuat janji yang terikat hukum maka jika dibatalkan bisa membuat pihak yang berjanji akan mendapat hukuman.

5. SAAT DAN LAHIRNYA PERJANJIAN

Menurut azas konsensualitas, suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.

Dengan demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah telah tercapai sepakat tersebut dan bilamana tercapainya sekapat itu.

Saat lahirnya perjanjian menurut UU No.6/2014 tertera pasal 31 kepala desa akan dipilih dan akan mengucapkan janji jika terpilih.

Pasal 31:

1)          Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. 
2)          Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
3)          Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.Kepala desa

6. PELAKSANAAN SUATU PERJANJIAN

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :

1.   Perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang
2.   Perjanjian untuk berbuat sesuatu
3.   Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu

Pelaksanaan Perjanjian yang terdapat pada UU No.6/2014 adalah kepala desa harus mengikuti perjanjian misalnya yang telah ditetapkan sejak awal yaitu melaksanakan tugasnya dengan sungguh-sungguh dan membangun desa yang baik.

Kesimpulan

UU No.6/2014 tentang desa memang banyak membatu desa untuk membangun pembangunan desa tersebut dari peraturan desa, penataaan, pengaturan dan juga UU No.6/2014 saling berkaitan dengan pembahasan materi yang telah disampaikan.

Sumber:

http://www.bpn.go.id/Publikasi/Peraturan-Perundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-6-tahun-2014-4723 [Diakses, 15 April 2015]

Katuuk Neltje F. 1994. Diktat Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisinis, Universitas Gunadarma


Tidak ada komentar:

Posting Komentar